ilustrasi sampah
Ridwan Kamil mati-matian membantah soal sampah di sungai Cikapundung. “Tidak ada bukti bahwa itu sampah dari berasal dari Bandung,” katanya.
Kelakuannya sama dengan Ahok. Ketika aparatnya menemukan kulit kabel yang menyumbat got, ia langsung menuduh itu sabotase.
Usut punya usut, ternyata itu sampah lama yang belum pernah dibersihkan oleh aparat Pemda DKI.
Keduanya memberikan pendidikan buruk kepada masyarakat, berupa contoh pemimpin yang suka berdalih, alias ngeles, menolak persoalan. Dalam bahasa Inggris disebut denial.
Kehebatan pemimpin tidak sekedar terletak pada kemauannya untuk bekerja keras menyelesaikan persoalan masyarakat, tapi juga pada kemauannya untuk mengakui kekurangannya.
Soal sampah, ada begitu banyak hal yang harus kita kerjakan. Persoalannya panjang, dari hulu sampai ke hilir, persis sama seperti panjangnya perjalanan sampah itu dari hulu sungai hingga ke muara. Itupun bukan akhir perjalanan. Ia kemudian akan mengotori lautan.
Beberapa kali saya membawa anak-anak main ke daerah hulu sungai. Saya sungguh suka dengan sungai. Suara gemercik arus air, beningnya air, di tengah suasana teduh dan sejuk di bawah rimbunnya pepohonan sungguh mendamaikan hati.
Namun, hampir pada setiap kesempatan kedamaian itu terusik oleh sampah. Ya, sampah-sampah, khususnya sampah plastik sudah kita temukan sejak di tengah gunung, di hulu sungai.
Bagian hulu dari persoalan sampah kita adalah pendidikan.
Dengan sedih saya harus katakan bahwa rakyat bangsa ini tidak mendapat pendidikan memadai soal sampah. Bahkan untuk sekedar soal cara membuang sampah saja pun kita tidak dididik.
Tapi, bukankah dalam berbagai mata pelajaran kita diajarkan untuk membuang sampah dengan benar? Ya, dan itulah masalah fundamental pada pendidikan kita. Pendidikan kita hanya membuat kita tahu, tapi tidak mengubah laku.
Dalam keseharian kita sangat sering melihat orang buang sampah sembarangan. Dalam pandangan saya, dunia kita itu dipenuhi oleh zombie pembuang sampah.
Sering saya perhatikan wajah orang yang membuah sampah sembarangan itu, dan tidak saya temukan raut rasa bersalah. Sepertinya gerakan tangan mereka waktu membuang sampah itu memang tidak dikendalikan oleh otak.
Yang lebih miris adalah pemandangan di sekolah. Pernah suatu hari saya hadir di sekolah anak saya. Hari itu ada olimpiade, pertandingan antar sekolah di bawah yayasan yang mengelola sekolah, menghadirkan sekolah-sekolah di bawah yayasan itu dari seluruh Indonesia.
Ada ratusan guru dan siswa yang hadir. Setiap orang makan dan minum, lalu membuang sampah begitu saja di tempat mereka duduk atau berdiri. Dalam sekejap halaman sekolah berubah menjadi lautan sampah.
Tempat sampah disediakan di sana sini, tapi jumlahnya tak cukup.
Selain itu, masalah utamanya terletak pada manusia-manusia yang memang tak terlatih membuang sampah dengan benar.
Di lain waktu ada acara lagi, walau skalanya hanya sekedar internal sekolah itu. Kejadian yang sama terulang, orang-orang membuang sampah sembarangan. Saya minta guru yang jadi panitia untuk memberi perhatian soal ini. Iya, pak, jawabnya.
Lalu ia mengumumkan,”Anak-anak, mohon agar tidak membuang sampah sembarangan.” Sudah. Seruan itu berlalu begitu saja.
Tak tahan lagi saya. Saya seret sebuah tempat sampah besar yang tadinya diletakkan di tempat yang tidak terlihat, saya bawa ke tengah arena acara. Lalu saya mulai memunguti sampah-sampah, memasukkannya ke tempat sampah.
Orang-orang di sekitar mulai tersadar lalu tergerak untuk membuang sampah mereka ke tempat sampah itu.
Dalam pertemuan dengan guru-guru saya sampaikan kritik secara terbuka kepada kepala sekolah. Ia berjanji akan memperhatikan. Kini kalau ada acara di sekolah, pihak sekolah menyiagakan sejumlah tukang pungut sampah! Luar biasa.
Persoalan pendidikan kita adalah soal pemahaman terhadap pendidikan itu sendiri, yang direduksi menjadi sekedar pengajaran. Itu terjadi baik di rumah maupun sekolah. Anak-anak kita diajari untuk tahu, bukan untuk terampil.
Anak-anak kita tahu bahwa sampah harus dibuang pada tempatnya, tapi tidak terampil dalam membuang sampah. Tangan-tangan mereka tidak dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar, maka yang menjadi kebiasaan adalah hal sebaliknya, membuang sampah sembarangan.
Anak-anak kita dilatih untuk menjadi para pelafal dan penghafal, bukan pelaku.
Sumber: www.kompas.com
Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar