Rabu, 23 Maret 2016

Nilai Bukanlah Segalanya

Menjadi seorang siswa di Indonesia rasanya tidak pernah mudah. Nilai, jadi patokan untuk menentukan kesuksesan. Sepertinya cuma nilai bagus yang membuatmu bisa dibanggakan oleh orang tua dan keluargamu. Pintar main bola nggak membuatmu bisa dapat ranking. Juara kompetisi yoyo tidak menjadikanmu anak kebanggaan. Padahal di luar sana ada berbagai sistem pendidikan lain yang menilaimu bukan cuma dari saja. Hanya sebagai bahan renungan dan evaluasi saja, gak ada salahnya kan kita melihat sistem pendidikan di negara lain. Karena kebanyakan orang bilang kalau rumput tetangga itu lebih hijau. :)



 1. Kalau di Indonesia batita udah masuk pre school, di Finlandia anak dibebaskan dari sekolah sampai umur 7 tahun Masa kecil itu untuk bermain di Indonesia, kebanyakan orangtua pasti akan mulai bingung saat anaknya memasuki usia 3-4 tahun. Pada usia anak yang baru segitu, mereka bahkan sudah pusing untuk memasukkan anaknya ke pre-school yang mana. Yah, namanya juga demi pendidikan anak mereka. Tentu lah mereka ingin memasukkan anaknya ke sekolah terbaik. Sayangnya, dalam usia semuda itu, mental dan pikiran anak-anak cenderung masih ingin bermain. Jadi meski sudah mulai disekolahkan pada usia dini, kemampuan anak yang sebenarnya masih belum akan terlihat. Yang ada malah kemampuan berpikir anak jadi kurang efektif nantinya. Atas dasar itu, Finlandia baru mengenalkan sekolah pada warganya saat mereka mulai masuk usia 7 tahun. Biarkan masa kecil untuk bermain sehingga masa kecil mereka bisa lebih bahagia. Disamping itu, usia 7 tahun dinilai sebagai usia yang tepat untuk mulai belajar. Pola pikir anak sudah mulai bisa dibentuk untuk belajar saat anak memasuki usia tersebut. 



 2. Berhitung dan membaca sama sekali nggak diajarkan di TK Jepang. Anak-anak malah diajari berkebun dan sikat gigi yang benar TK itu bermain. Kamu tentu pernah nonton Crayon Shinchan, kan? Pernah kah liat Shincan disuruh menghitung atau membaca? Tentu tidak. Lantas apa yang dilakukan oleh Shinchan setiap ke sekolah? Hanya bermain dan melakukan aktivitas sehari-hari, seperti sikat gigi dan berkebun. Bagi sistem pendidikan Jepang, masa kanak-kanak adalah saat untuk bermain, bukan belajar memahami angka dan kata. Itulah sebabnya aktivitas TK di Jepang hanyalah bermain, bernyanyi, dan mengenalkan lingkungan. Saat anak memasuki usia SD, baru anak-anak dikenalkan dengan membaca dan menghitung. Berbeda dengan di Indonesia yang punya pola pikir sedini mungkin anak belajar membaca dan menghitung, nantinya anak akan lebih cerdas dari teman sebayanya. Mungkin dalam jarak singkat, hal itu bisa terjadi. Tapi untuk jangka waktu yang lama, anak yang sejak TK belajar menghitung dan anak yang baru belajar hitung-hitungan di SD tidak punya perbedaan yang besar kok.


 3. Kelas di Singapura dibuka dengan sesi bertanya. Guru malah nggak berceramah dan minta murid mencatat Siswa sangat gemar bertanya.
Coba deh ingat-ingat dulu saat kamu jadi murid SD, berapa banyak temanmu yang berani bertanya kepada guru tentang pelajaran di kelas? Paling di dalam kelas, hanya ada satu atau dua orang yang mau dan berani bertanya kepada guru. Ada beberapa penyebab sih. Mungkin karena memang murid tidak pernah diajarkan untuk berani mengemukakan pendapat sehingga murid malas untuk bertanya. Alasan lain adalah karena adanya pendapat bahwa banyak bertanya menunjukkan bahwa kamu tidak mengerti. Jika ditambah dengan adanya guru yang malah mengejek siswa yang bertanya, maka tak ada satu pun siswa yang berani bertanya karena takut dianggap bodoh oleh teman-temannya. Padahal, di Singapura yang notabene negara kecil, para siswanya sangat dianjurkan untuk bertanya. Para siswa didukung untuk menanyakan banyak hal dan memikirkan jawabannya bersama-sama. Dari situ akan terbentuk mental yang siap menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan.



 4. Perpustakaan di Singapura buka 24 jam menjelang masa ujian. Mau belajar sampai nginap juga boleh Itu cuman di lantai 8 doang loh. Kalau berbicara tentang sistem pendidikan Singapura, tidak ada yang menyangkal bahwa status pendidikan di sana sangat dijunjung tinggi. Bahkan para orangtua akan merasa sangat kecewa saat anaknya mendapat nilai dibawah temannya. Setiap anak di Singapura cenderung selalu ditekan untuk menjadi yang terbaik di kelas. Namun, meski siswanya ditekan untuk terus belajar menjadi yang terbaik, siswa lulusan Singapura memang cenderung akan sukses di masa depan. Kenapa? Karena meski ditekan, pemerintah Singapura juga mengimbangi tekanan tersebut dengan memberikan sarana belajar yang memadai. Adanya akses ke jurnal dan buku-buku di perpustakan terbukti sangat memantu siswa untuk lebih mendalami ilmunya. Juga dengan banyaknya seminar “gratis” yang diadakan bagi siswa di sana. Ditambah lagi dengan akses ke perpustakaan yang dibuka 24 jam bagi siswa. Dengan segala kemudahan tersebut, wajar lah kalau lulusan Singapura sukses-sukses.



 5. Amerika Serikat membebaskan negara bagian menyelenggarakan Ujian Nasional. Pendidikan tetap terukur tapi nggak disamaratakan Setiap daerah ujiannya berbeda-beda, Jika di Indonesia masih saja ribut soal Ujian Nasional sebagai standar kualitas pendidikan, lain halnya dengan Amerika. Di negara tersebut tidak mengenal adanya ujian nasional. Setiap siswa bebas mengekspresikan dirinya sesuai dengan watak dan kemampuan pribadinya. Pun demikian dengan kurikulum pendidikannya. Masing-masing daerah punya standar kurikulum berbeda. Karena memang setiap daerah punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, daerah dianggap yang paling tahu akan standar pendidikan warganya. “Lantas bagaimana dengan standar masuk perguruan tingginya?” Untuk urusan masuk ke perguruan tinggi, sudah ada ujian masuk yang bisa diadakan oleh masing-masing kampus. Meski kamu adalah siswa lulusan SMA dari daerah kecil, kamu tetap punya kesempatan
masuk Harvaard yang sama dengan mereka-mereka yang lulusan sekolah dari kota besar.



6. Nanyang University, Singapura mengganti ospek dengan program Kindness Campaign. Ospek tanpa membentak. Malah berbagi kebaikan Saya juga bingung, “Lari, dek!” “Kamu tuli?! Dari tadi diteriakin ‘lari’ tetep aja lelet!” Sebagai mahasiswa Indonesia, kamu pasti pernah merasakan bagaimana rasanya dibentak-bentak saat Ospek. Meski sekarang perpeloncoan di Ospek sudah dibatasi dan bahkan dihilangkan, tapi program ospek yang ada sekarang kurang bisa mendidik bagi calon mahasiswa. Untuk itu kita sejatinya bisa mencontoh program Kindness Campaign dari Nanyang University. Program ospek yang satu ini sangat dielu-elukan oleh dunia. Yah, bagaimana tidak. Disana, setiap mahasiswa baru harus membagikan kebahagiaan kepada 30 orang selama satu bulan penuh. Caranya beragam. Ada yang dengan memberi tos kepada penumpang yang baru turun dari MRT, bersih-bersih stasiun hingga membersihkan toilet. Daripada ospek yang membentak maba, bukankah ospek dengan cara seperti ini jauh lebih bisa meningkatkan moral calon pemimpin bangsa? Memang sih tidak mungkin untuk serta-merta menerapkan sistem tersebut di Indonesia. 

Kita tidak bisa serta-merta merubah sistem yang sudah ada. Namun secara bertahap perlahan-lahan kita bisa mewujudkan dunia pendidikan yang lebih baik untuk Negara kita yang kita cintai. Kerja sama semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat sangat diperlukan untuk membangun sistem pendidikan yang lebih baik untuk generasi penerus kita.

Sumber: www.hipwee.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar